Anak-anak rumah sedang berpesta, Aparat, anjing Helder tua dan aktivis 98 bercanda di tengah jalan kota Semanggi dan Trisakti. Bandit, koruptor dan pelacur jalanan di Nusantara, datang setiap waktu meminta cahaya rejeki keharaman.
Rel-rel kereta berkilau intan berkarat. Soekarno, Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, SBY turun gunung dan untuk kemudian meninggalkan pasar. 17 detik setelah meriam pusaka istana merdeka diledakkan. Pulang ke gedung rakyat dan setan memasakkan sayur lodeh dan tempe goreng untuk si garuda.
Lapangan Banteng tengah malam di era Soekarno berlanjut menjadi cerita Trisakti, Semanggi 98. Trotoar perempatan neg’ri dikala siang, apa terjadi? Panasnya diguyur hujan sebelum debu menempel di bendera partai.
Potongan memori tertinggal di museum, hingga si bule bisa memecahkannya. Penggalan harapan si cabang bayi yang tak mau berujung tragedi. Tragedi yang berakhir di pagi cerah dan buta kala si Ibu Pertiwi meregang dan memberikan secarik harapan yang tak lekang surga dan neraka.
UU, KUHP dan yang lain terpaku di ujung bak sampah ruangan para hakim dan jaksa. Anak-anak rumah sedang berpesta. Penggalan puisi proklamasi setengah promo dari majalah Playboy. Aku tak begitu mempercayainya hingga di bulan sakral di hari ke 17, dikamar seorang TKW asal neg’ri jiran yang memadamkan lampu kamar dan memutar…… dengan volume 80%.
Satu hari bersama beberapa Menteri dengan sebotol ALKOHOL kekuasaan dan beberapa pucuk jabatan. Detik terasa lama dan hidup ku terasa singkat untuk memahami apa yang ditawarkan melodi Demokrasi, Reformasi dan Revolusi yang tak sekedar disonan yang bukan hanya disonan, kurasa.
Dan kesunyian yang sama sekali senyap hingga membuat Dajjal merekam lagunya. Dunia tidaklah sesederhana itu, meski para pedagang kaki lima harus ikhlas menyaksikan kepahlawan SATPOL PP bermain sinetron dan tak menyisakan apapun bagi peran pigura.
Salah benar sudah kulakukan, pertarungan abadi setan malaikat menjadi saksinya.
Angkat gelas, kita bersulang
_posted by Mahasiswa indonesia Group_